Siasat Perempuan Pematah Kutukan

 Pada abad ke-14, Majapahit bangkit dengan upaya untuk menyatukan nusantara. Ada kekhawatiran bahwa kutukan Mpu Bharaddah bisa menjadi penghalang, namun di sisi lain ada Gayatri Rajapatni, istri Dyah Wijaya (1293-1309 M) dan putri bungsu Maharaja Kertanagara dari Singhasari. Diduga Gayatri-lah yang merumuskan politik Mandala Nusantara, transformasi dari politik ayahnya, dengan mengamanatkan Gajah Mada sebagai pelaksana ikrar penyatuan nusantara.

Menurut catatan Mpu Prapanca dan Prasasti Geneng II (1329 M), Gayatri memiliki pengaruh besar dalam mengangkat putrinya, Ratu Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M), ke tahta. Gayatri dipandang sebagai penguasa tanpa mahkota, yang berperan penting dalam menyusun politik penyatuan Majapahit, sementara Gajah Mada bertindak sebagai eksekutor.

Ada teori bahwa kutukan Mpu Bharaddah hanya berlaku pada raja yang ingin menyatukan Janggala dan Panjalu, sehingga Gayatri cerdik memahkotai Tribhuwana dan memberikan eksekusi penyatuan pada Gajah Mada. Dengan begitu, Gayatri, meski tanpa mahkota, tetap menjadi figur utama di balik layar, bahkan diberi gelar Bhatari Paramabhagawati Catraning Rat, yang berarti pelindung jagat, gelar yang sejalan dengan gelar para Chakrawartin seperti Airlangga dan Kertanagara.

Ketika Gayatri meninggal pada 1350 M, ia dicandikan di lokasi yang diyakini sebagai batas gaib kutukan Mpu Bharaddah di Kamal Pandak, dengan tujuan mengunci kutukan itu. Candi yang dibangun untuknya disebut Prajnaparamithapuri, dan Mpu Jnyanawidi, yang dianggap penjelmaan Mpu Bharaddah, ditunjuk sebagai pengurusnya. Candi ini sering dikaitkan dengan Candi Boyolangu di Tulungagung, yang oleh masyarakat dianggap sebagai candinya Gayatri.



KIKI CITRA RAHMAWATI 

X-6/23 

Komentar

Postingan Populer